Jembatan kayu sepanjang enam meter dan lebar tiga meter yang menjadi akses utama warga roboh akibat dilalui kendaraan berat. Kondisi ini menghambat aktivitas distribusi barang, hasil pertanian, hingga layanan darurat seperti ambulans.
Perbaikan dilakukan oleh warga secara gotong royong. Mereka menggalang dana sendiri dan bekerja sama dengan pengusaha lokal serta donatur pribadi yang kerap menggunakan jalur tersebut. Dana yang berhasil dikumpulkan melebihi Rp6 juta.
Setelah robohnya Jembatan Panglima Sampul di Sungai Perumbi, jalur ini menjadi rute alternatif bagi masyarakat. Karena lambannya respons dari pemerintah desa, warga memilih bertindak sendiri demi kelangsungan aktivitas mereka sehari-hari.
Warga menggunakan peralatan sederhana seperti parang, palu, dan cangkul. Meskipun berbasis gotong royong, para pekerja tetap diberi upah sebagai bentuk penghargaan atas jerih payah mereka.
Upaya warga ini tidak sepenuhnya diterima positif. Beberapa pendukung Kepala Desa Samsi mencibir aksi tersebut di grup komunikasi desa dan menudingnya bermuatan politis.
Saat dimintai konfirmasi, Kepala Desa Samsi tidak memberikan tanggapan substansial dan hanya mengirim tautan berita dari media tanpa penjelasan.
Peristiwa ini menunjukkan tingginya kepedulian masyarakat terhadap infrastruktur desa,
namun juga menyoroti lemahnya keterlibatan pemerintah desa dalam menangani kebutuhan mendesak warganya.