Breaking News

Kepulauan Batu: Urgensi Daerah Otonomi Baru di Pinggiran Indonesia

 

Oleh: Yunias DaoI

ndonesian Maritime Security Initiative (Indomasive)

Kepulauan Nias.Mitrapol.id – Indonesia sebagai negara kepulauan, memiliki lebih dari 17.000 pulau-pulau kecil dan sebagian di antaranya terletak di garis depan kedaulatan negara. Salah satu wilayah itu adalah Kepulauan Batu di Kabupaten Nias Selatan, Provinsi Sumatera Utara. Kepulauan Batu merupakan wilayah pulau-pulau kecil di Kabupaten Nias Selatan, Provinsi Sumatera Utara, yang terdiri dari 101 pulau. Dari seluruh gugusan pulau itu terdapat 4 (empat) pulau besar, yakni Pulau Tanah Bala (39,67 km²), Pulau Tanah Masa (32,16 km²), Pulau Tello (18 km²), dan Pulau Pini (24,36 km²). Salah satu pulau di kawasan ini adalah pulau terluar perbatasan, yaitu Pulau Simuk, ditetapkan berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2017 tentang Penetapan Pulau-Pulau Kecil Terluar. Kepulauan Batu secara administratif terdiri dari 7 (tujuh) kecamatan, yaitu: Kecamatan Pulau-Pulau Batu, Kecamatan Pulau-Pulau Batu Utara, Kecamatan Pulau-Pulau Batu Timur, Kecamatan Pulau-Pulau Batu Utara, Kecamatan Pulau-Pulau Batu Barat, Kecamatan Tanah Masa, dan Kecamatan Simuk.

Seluruh gugusan ini berhadapan langsung dengan Samudera Hindia, sebagai kawasan yang kaya akan sumber daya kelautan dan perikanan dan potensi wisata bahari, serta potensi sektor-sektor lainnya.

Namun di balik potensi tersebut, wilayah ini masih menghadapi tantangan klasik seperti akses terbatas, pelayanan publik minim, dan pengelolaan sumber daya yang belum berjalan optimal. Kondisi ini membuat masyarakat di wilayah terluar seolah hidup di ruang sunyi dari kehadiran negara. Dari perspektif inilah, urgensi DOB menemukan bentuknya: mendekatkan negara ke garis depan kedaulatan, sebagai wujud pertahanan, dan sekaligus membuka pintu kesejahteraan bagi masyarakat.

Otonomi Untuk Kedaulatan

Gagasan pembentukan DOB tidak berdiri di ‘ruang kosong’. Secara konseptual, ia berakar pada teori desentralisasi sebagaimana dikemukakan oleh Rondinelli (1981) dan Smith (1985), yang menegaskan bahwa pelimpahan kewenangan dari pusat ke daerah diperlukan untuk memperkuat efisiensi administrasi dan responsivitas terhadap kebutuhan lokal. Prinsip ini ditegaskan pula dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dimana otonomi dimaknai sebagai hak dan kewenangan daerah untuk mengatur serta mengurus kepentingan masyarakatnya sendiri dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Melalui desentralisasi, negara berharap tercipta pemerintahan yang lebih dekat, efektif, dan responsif terhadap kebutuhan lokal.

Pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) bukan sekadar urusan administratif atau politik semata. Kebijakan terkait ini sering diperdebatkan dalam konteks efisiensi birokrasi dan pemerataan pembangunan. Namun, di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, DOB bertransformasi dari sekadar isu administratif menjadi kebutuhan mendesak (urgensi) yang berkaitan langsung dengan pertahanan, keamanan nasional, dan kesejahteraan masyarakat. Pembentukan DOB di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil terluar seperti Kepulauan Batu memiliki makna strategis ganda. Dari sisi pertahanan, keberadaan struktur pemerintahan baru menghadirkan kehadiran negara yang lebih nyata di garis depan. Dari sisi pembangunan, DOB memungkinkan pengelolaan potensi lokal dilakukan dengan lebih cepat dan terarah.

DOB Sebagai Pilar Pertahanan dan Keamanan Nasional

Kepulauan Batu merupakan wilayah potensial di Pantai Barat Indonesia dikelilingi oleh Samudera Hindia. Perairan di sekitar wilayah ini tidak hanya menjadi jalur pelayaran maritim, tetapi juga titik rawan terhadap berbagai aktivitas ilegal, seperti penangkapan ikan ilegal, penyelundupan, hingga potensi pelanggaran batas wilayah laut. Dalam perpektif pertahanan, negara tidak dapat hanya bergantung pada kekuatan militer semata, melainkan juga pada kehadiran sistem pemerintahan sipil yang kuat, dan DOB berfungsi sebagai elemen penguat di sektor ini.

Konsep ini sejalan dengan teori Ketahanan Nasional yang menekankan pentingnya pengelolaan sumber daya alam dan wilayah dalam menjaga keutuhan NKRI. Doktrin Lemhannas RI menempatkan dimensi geografis—terutama wilayah laut—sebagai faktor utama ketahanan bangsa. Dalam Buku Putih Pertahanan Indonesia( 2015), daerah perbatasan dan pulau-pulau kecil terluar dipandang sebagai buffer zone strategis yang wajib dijaga, tidak hanya secara militer tetapi juga melalui kehadiran pemerintahan sipil yang kuat. Maka, dalam konteks ini, pembentukan DOB membuka ruang bagi penguatan pertahanan dan keamanan berbasis masyarakat lokal. Pemerintahan baru bisa mengembangkan sistem keamanan partisipatif—melibatkan nelayan, tokoh adat, dan aparat daerah yang memahami karakter wilayah setempat.

Selain itu, DOB memungkinkan percepatan pembangunan infrastruktur pendukung mencakup pelabuhan, komponen pertahanan, sistem komunikasi maritim, hingga logistik wilayah. Ini bukan hanya memperkuat kedaulatan, tetapi juga menumbuhkan rasa aman dan bangga masyarakat di garis depan nusantara.

Menghadirkan Negara di Wilayah Terpencil

Secara administratif, Kepulauan Batu masih berada di bawah wilayah admistratif Kabupaten Nias Selatan, dengan pusat pemerintahan di Teluk Dalam—dengan jarak ratusan kilometer dari wilayah kepulauan ini. Jarak tersebut berdampak pada pelayanan publik, pendidikan, kesehatan, dan administrasi pemerintahan yang terbatas dan sulit diakses. Kondisi geografis yang menantang menjadikan respons terhadap kebutuhan masyarakat lamban dan tidak efisien.

Terkait hal ini, maka sangat perlu penegasan bahwasanya desentralisasi tanpa penguatan kapasitas hanya akan memindahkan birokrasi, bukan memperbaiki pelayanan. Oleh karena itu, teori good governance dan capacity building dari Grindle (1997) dan UNDP (1997) perlu menjadi landasan pelaksanaan DOB. Teori-teori ini menekankan pentingnya tata kelola yang transparan, partisipatif, dan berbasis masyarakat, serta peningkatan kemampuan aparatur daerah untuk mengelola kewenangan baru secara efektif. Dalam hal ini, Kepulauan Batu menjadi DOB sebagai solusi struktural.

Dengan pembentukan daerah otonom baru, pemerintahan bisa hadir lebih dekat dalam pelayannya, meningkatkan kualitas SDM, teknologi informasi, serta tata kelola fiskal dan administratif yang baik, merespons cepat persoalan masyarakat, membangun infrastruktur dasar, dan mengelola sumber daya setempat sesuai karakter kepulauan. Dengan begitu, otonomi tidak berhenti pada perubahan struktur, tetapi juga menghasilkan pemerintahan yang mampu memberikan nilai tambah bagi masyarakat pesisir.

DOB Sebagai Pemicu Kesejahteraan dan Pengelolaan SDA

Potensi sumber daya alam Kepulauan Batu meliputi sektor kelautan dan perikanan, pariwisata dan kehutanan. Namun, potensi ini belum menjadi ‘mesin’ kesejahteraan karena minimnya infrastruktur ekonomi, investasi, dan kapasitas pengelolaan.

Dengan menjadi daerah otonomi baru, Pemerintahan yang terbentuk dapat memiliki kewenangan fiskal dan regulatif untuk mengelola potensi SDA secara lebih mandiri. Perizinan, investasi, hingga tata kelola sumber daya bisa dilakukan secara terintegrasi dan responsif, sehingga Pendapatan asli daerah (PAD) dapat tumbuh dari sektor-sektor produktif.

Langkah ini akan menciptakan efek berantai mencakup peningkatan pendapatan, terbukanya lapangan kerja, dan bertumbuhnya ekonomi lokal berbasis potensi. Sehingga, kehadiran pemerintah di tingkat lokal bukan sekadar simbol, melainkan sarana efektif menghadirkan negara di wilayah terdepan.

Pembentukan DOB di Kepulauan Batu dapat dipandang sebagai strategi growth pole: menciptakan pusat pertumbuhan baru di wilayah yang selama ini tertinggal. Dengan status otonom, Kepulauan Batu dapat menjadi pusat logistik perikanan, sentra wisata bahari, atau basis ekonomi kelautan yang menumbuhkan kawasan sekitarnya.

Mitos Lemahnya Kapasitas Fiskal DOB: Potensi versus Ketimpangan Struktural

Salah satu argumen yang kerap diajukan untuk menolak pembentukan DOB adalah kekhawatiran soal kemampuan fiskal dan ketergantungan pada “dana pusat”. Padahal, banyak daerah yang dianggap “tidak mampu” secara fiskal tetapi sebenarnya memiliki kekayaan alam besar yang tidak tergarap karena jauh dari jangkauan kebijakan dan pelayanan.

Masalahnya bukan pada ketiadaan potensi, tetapi pada tidak adanya kewenangan, kelembagaan dan kebijakan yang bisa mengelola potensi itu menjadi sumber PAD. Dengan DOB, pengelolaan sumber daya alam dapat dilakukan lebih adaptif dan terarah. Pemerintah daerah baru dapat menetapkan kebijakan fiskal lokal, menarik investasi sektor perikanan dan pariwisata, serta membangun rantai nilai ekonomi. PAD yang dihasilkan dari sektor-sektor ini akan memperkuat kemandirian fiskal dan mengurangi ketergantungan pada dana pusat.

Kemandirian fiskal bukan sesuatu yang harus ada sejak awal, tetapi dapat dibangun melalui peluang yang diciptakan DOB itu sendiri. Dalam jangka panjang, justru daerah-daerah baru inilah yang berpotensi menjadi sumber pertumbuhan ekonomi nasional—bila diberi ruang dan dukungan regulatif.

DOB Sebagai Jalan Menuju Kemandirian, Bukan “Ketergantungan”

Argumentasi bahwa DOB hanya menambah “beban fiskal negara” adalah pandangan jangka pendek. Justru, dengan DOB yang dikelola dengan visi pembangunan berbasis potensi, daerah-daerah baru dapat bertransformasi menjadi sumber pertumbuhan ekonomi baru dan penguat kemandirian nasional.

Kemandirian fiskal lahir bukan karena daerah sudah makmur sejak awal, tetapi karena ada kesempatan untuk mengelola dirinya sendiri. Tanpa DOB, potensi itu tetap “terkunci” di bawah kendali administratif yang “jauh” dan lamban. Dengan DOB, akan muncul ruang kebijakan untuk mengindetifikasi, menggali, mengolah, dan menumbuhkan kekayaan potensi daerah menjadi kesejahteraan masyarakat.

Inilah mengapa, dalam konteks Kepulauan Batu dan wilayah pesisir pulau-pulau kecil terluar lainnya, pembentukan DOB harus dilihat bukan sebagai “beban anggaran”, tetapi sebagai investasi strategis negara. Ia menumbuhkan basis ekonomi baru di wilayah yang sebelumnya tertinggal, sekaligus memperkuat posisi Indonesia di garis depan pertahanan dan keamanan kedaulatan wilayah. DOB bukan beban, tetapi investasi jangka panjang untuk memperkuat pertahanan, pemerataan, dan kesejahteraan sebagai sebuah sinergi linta sektor.

Kesimpulan

Melihat posisi strategis dan kompleksitas tantangan yang dihadapi, pembentukan Daerah Otonomi Baru Kepulauan Batu sebagai sebuah Kabupaten bukan sekadar aspirasi daerah, tetapi merepresentasikan sinergi antara desentralisasi, pembangunan wilayah, dan pertahanan nasional. Ia merupakan strategi multidimensi: menghadirkan negara di pinggiran, memperkuat ketahanan nasional, dan membuka ruang bagi masyarakat untuk mengelola potensi daerahnya secara berdikari.

Pemerintah pusat melalui Kemendagri dan DPR/D dapat mulai memberikan perhatian untuk menetapkan Kepulauan Batu sebagai daerah persiapan otonomi baru, dengan pendampingan administratif dan fiskal bertahap sesuai regulasi.

Dengan struktur pemerintahan yang lebih dekat dan responsif, Kepulauan Batu dapat tumbuh menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru, sekaligus benteng kedaulatan Indonesia di pantai barat nusantara. Penegasan kembali bahwa DOB bukan beban, melainkan investasi strategis untuk masa depan sebagai negara kepulauan. Dari pinggiran, Indonesia justru memperkuat kapasitasnya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

error: Content is protected !!