Breaking News

DPR sahkan RUU KUHAP jadi Undang-Undang, aktivis kritik pasal ‘ugal-ugalan’ dan ‘merebut paksa kemerdekaan diri warga’

Polisi menangkap peserta demo UU Cipta Kerja di Magelang, Jawa Tengah.

Mitrapol.id / Walaupun diwarnai penolakan oleh masyarakat sipil, DPR tetap mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Selasa (18/11).

Keputusan ini diambil dalam rapat paripurna yang dipimpin Ketua DPR Puan Maharani.

“Tibalah saatnya kami meminta persetujuan fraksi-fraksi terhadap RUU KUHAP apakah dapat disetujui menjadi UU?” tanya Puan.

Seluruh peserta rapat paripurna pun kompak menyatakan “Setuju”.

Pengesahan ini terjadi ketika para pegiat demokrasi menilai ada sejumlah pasal bermasalah dalam RUU tersebut.

Mereka mencemaskan pasal-pasal itu bakal membuka perlakuan sewenang-wenang dari aparat penegak hukum.

Alih-alih mewujudkan penegakan hukum, RUU KUHAP dapat “merebut paksa kemerdekaan diri” dengan pasal-pasal yang bermasalah, kata Ketua Umum Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Julius Ibrani.

“Namun, dalam hal substantif itu banyak yang tidak bisa diakomodasi oleh KUHAP ini, utamanya perspektif dari masyarakat,” tegas Julius kepada BBC News Indonesia.

Menteri Sekretariat Negara Prasetyo Hadi (kiri) dan qKetua Komisi III DPR Habiburokhman (kedua kanan), Wakil Ketua Komisi III DPR Moh Rano Alfath (kanan), dan Sari Yuliati (ketiga kanan) saat rapat kerja di Kompleks Parlemen.

Koalisi sipil juga menganggap DPR dan pemerintah tidak serius melibatkan masyarakat untuk memberikan masukan.

Para politikus di DPR, yang terlibat dalam proses pembahasan RUU KUHAP, mengklaim pihaknya justru sejak awal menampung masukan masyarakat sipil.

“Kami tidak bisa memenuhi semua masukan, tapi ini 99% isinya berasal dari usulan masyarakat sipil,” ujar Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman sebelum rapat paripurna berlangsung, Selasa (18/11).

Ia pun menuding ada penyebaran hoaks terkait KUHAP.

“Adanya hoaks atau berita bohong yang beredar sangat masif di media sosial yang intinya menyebutkan empat hal kalau RUU KUHAP disahkan, polisi jadi bisa lakukan ini ke kamu tanpa izin hakim,” ucap Habiburokhman dalam rapat paripurna.

RUU KUHAP: ‘Merebut paksa kemerdekaan diri [kita]’

Tim Advokasi Untuk Demokrasi (TAUD), yang berisikan gabungan organisasi nonpemerintah, menyatakan sejumlah pola pelanggaran berulang ditemukan pada demonstrasi akhir Agustus.

Pola pelanggaran berulang yang dimaksud mencakup kekerasan aparat, penyitaan barang pribadi tanpa izin pengadilan, penangkapan sewenang-wenang, masa penahanan yang melebihi batas, dan proses hukum yang tidak transparan.

Kejadian itu memperlihatkan betapa besarnya kewenangan aparat penegak hukum dalam rangka “pengamanan” dan muncul di saat RUU KUHAP belum disahkan.

Kondisi penegakan hukum selama ini dikritik berbagai kelompok sipil lantaran masih menunjukkan wajah bopengnya. Keberadaan RUU KUHAP, yang tinggal menunggu waktu untuk diterapkan, justru disebut bakal menjauhkan proses hukum yang berkeadilan.

Secara ringkas, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merupakan pedoman yang mengatur tata cara para penegak hukum—dari polisi sampai jaksa—dalam melaksanakan kewenangannya.

Pembentukan KUHAP diharapkan mampu menjawab keluhan masyarakat yang mengalami kejadian pahit, baik laporan pencurian motor yang tidak ditanggapi secara serius hingga korban kekerasan seksual yang tak kunjung memperoleh keadilan atau penanganan yang layak.

Visi yang termuat lewat RUU KUHAP, menurut Ketua Umum Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Julius Ibrani, justru akan berlaku sebaliknya.

Alih-alih mewujudkan penegakan hukum, RUU KUHAP dapat “merebut paksa kemerdekaan diri” dengan pasal-pasal yang bermasalah, imbuh Julius.

“Namun, dalam hal substantif itu banyak yang tidak bisa diakomodasi oleh KUHAP ini, utamanya perspektif dari masyarakat,” tegas Julius kepada BBC News Indonesia.

Kritik yang mencolok dalam aspek penegakan hukum adalah lahirnya tindakan sewenang-wenang saat proses penangkapan serta penahanan. Praktiknya, proses penahanan, misalnya, sering kali ditempuh dengan durasi lebih panjang daripada yang sudah ditetapkan ketentuan: 1 kali 24 jam.

Di RUU KUHAP, “aspek penting tersebut sama sekali tidak diperbaiki,” terang koalisi.

Ditambah, skema penahanan dalam RUU KUHAP dibuat alternatif antara dengan surat perintah penahanan—oleh penyidik sendiri—atau lewat penetapan hakim.

Skema itu, kata koalisi, “terang-terangan mendorong penyidik menghindari pengawasan yudisial.”

Poin selanjutnya yakni peluang terjadinya penggeledahan, penyitaan, penyadapan, hingga pemblokiran yang didasarkan subjektivitas aparat.

Ihwal tersebut tercantum pada Pasal 105, 112A, 124, serta 132A. Aparat bisa mengambil tindakan penggeledahan hingga penyadapan tanpa harus memperoleh izin dari pengadilan selama alasan “keadaan mendesak” terpenuhi.

Akibatnya, ujar koalisi, “negara dapat memasuki ruang-ruang privat warga sipil dengan semakin leluasa,” berdalih “untuk mengusut tindak pidana.”

“Namun, tidak jelas bagaimana perlindungan terhadap data pribadi yang telah dikuasainya,” tambah koalisi.

“Akhirnya, celah-celah penyalahgunaan hingga pemerasan sangat mungkin bisa terjadi karena konstruksi aturan RUU KUHAP yang sedari awal bermasalah.”

Suasana rapat di Komisi III DPR RI, yang membidani bidang hukum.

Kemudian di Pasal 74A RUU KUHAP dijelaskan, kesepakatan damai (diterjemahkan sebagai keadilan restoratif) pelaku dan korban dapat dilaksanakan sejak tahap penyelidikan. Koalisi menyatakan ketentuan itu memungkinkan lahirnya pemerasan sekaligus pemaksaan.

“Kesepakatan damai dapat dilaksanakan pada tahapan yang belum dipastikan terdapat tindak pidana. Hal ini sangat dipertanyakan. Bagaimana mungkin belum ada tindak pidana tapi sudah ada subjek pelaku dan korban?” tanya koalisi.

Selain itu, koalisi mengatakan, “hasil kesepakatan damai yang ditetapkan pengadilan hanya surat penghentian penyidikan,” sedangkan “penghentian penyelidikan sama sekali tidak dilaporkan ke otoritas mana pun.” Aturan ini ditulis di Pasal 79. Koalisi menyebutnya “ruang gelap penyelidikan.”

Masih soal keadilan restoratif (restorative justice), koalisi berpandangan RUU KUHAP “gagal menjamin sistem checks and balances oleh pengadilan.”

Pasalnya, penetapan untuk penghentian penyidikan hanya akan dianggap stempel belaka, “tanpa memandatkan kepada hakim untuk melakukan pemeriksaan secara substansial.”

Lalu di Pasal 7 dan 8 dikatakan semua Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dan penyidik khusus diletakkan di bawah koordinasi Polri, sehingga “menjadikan kepolisian lembaga superpower dengan kontrol yang sangat besar,” tegas koalisi.

Pasal-pasal yang menyangkut pemenuhan bantuan hukum, merujuk analisis koalisi, dipengaruhi “ancaman pidana.” Bantuan hukum, semestinya, “merupakan hak yang tidak melihat latar belakang kasus atau ancaman hukuman,” ucap koalisi.

Pasal-pasal bantuan hukum, di sisi yang lain, “terlihat ambigu yang menciptakan ketidakpastian hukum,” imbuh koalisi.

“Karena di satu sisi bantuan hukum diberikan sebagai kewajiban, tapi di sisi lain bantuan hukum dapat ditolak maupun dilepaskan,” sebut koalisi.

Tak ketinggalan, pasal-pasal dalam RUU KUHAP dituding “bersifat ableistik lantaran tidak mewajibkan penyediaan akomodasi yang layak bagi penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum,” terang koalisi.

Lebih jauh, Pasal 137A membuka peluang penghukuman tanpa batas waktu terhadap penyandang disabilitas mental dan intelektual, dan “secara implisit menempatkan keduanya sebagai pihak tanpa kapasitas hukum,” ungkap koalisi.

“Pasal ini berpotensi melegitimasi perampasan kemerdekaan dan pengurungan sewenang-wenang (arbitrary detention) karena penjatuhan sanksi tidak diposisikan sebagai putusan pidana sehingga tidak memiliki standar jelas terkait batas waktu, mekanisme pengawasan, maupun penghentian tindakan,” koalisi menjelaskan.

Koalisi turut mengkritik Pasal 99 RUU KUHAP yang memperlakukan mereka yang mengalami gangguan fisik dan mental berat “tidak setara dengan menambah durasi penahanan paling lama 60 hari.”

Ketua Komisi III DPR Habiburokhman memimpin rapat panja RUU KUHAP.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, memandang pembahasan pasal-pasal di RUU KUHAP “sangat dangkal dan tidak menyentuh substansi persoalan di lapangan yang selama ini dialami banyak korban sistem peradilan pidana.”

“Mulai dari kasus-kasus salah tangkap, kekerasan atau penyiksaan, undue delay dan kriminalisasi, serta pembatasan akses bantuan hukum tidak dijamin sepenuhnya dalam RUU KUHAP,” ucapnya.

Tapi, Isnur menambahkan, DPR bersama pemerintah malah memperluas kewenangan penegak hukum polisi yang melegitimasi tindakan subjektif “untuk melakukan penangkapan, penahanan, serta penggeledahan.”

“Mirisnya lagi, ini semua tidak didukung dengan mekanisme pengawasan yang ketat oleh lembaga eksternal yang independen. Kerangka hukum yang melegitimasi tindakan subjektif polisi sangat membuka terjadinya penyalahgunaan wewenang,” imbuh Isnur.

Sumber : BBC News indonesia

error: Content is protected !!